Tanah bukan sekadar ruang fisik bagi masyarakat Secwepemc. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari identitas, sejarah, spiritualitas, dan kelangsungan hidup komunitas. Dalam konteks ini, organisasi adat memegang peran penting dalam mempertahankan, melindungi, dan memperjuangkan hak atas tanah leluhur yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Di tengah kompleksitas hukum modern dan tekanan pembangunan, upaya mempertahankan tanah leluhur menjadi tantangan serius—namun juga sumber kekuatan kolektif masyarakat.
Tanah Sebagai Pusat Kehidupan Budaya
Bagi komunitas Secwepemc, tanah tidak hanya dianggap sebagai properti, melainkan sebagai makhluk hidup yang memiliki hubungan timbal balik dengan manusia. Di sanalah ritual dilaksanakan, cerita leluhur diwariskan, tanaman obat dipetik, dan hewan diburu dengan penuh hormat. Semua ini membentuk cara hidup yang berkelanjutan, penuh keseimbangan, dan saling menghormati antara manusia dan alam.
Oleh karena itu, ketika hak atas tanah adat dilanggar—baik oleh pembangunan infrastruktur, penambangan, atau perluasan kota—itu bukan hanya ancaman terhadap ruang hidup fisik, tetapi juga terhadap keberlangsungan budaya dan spiritualitas masyarakat.
Tugas Organisasi Adat dalam Advokasi Tanah
Organisasi adat Secwepemc berfungsi sebagai penjaga kepentingan komunitas dalam isu-isu terkait tanah. Mereka tidak hanya memimpin dialog internal mengenai batas wilayah adat, tetapi juga menjadi perwakilan resmi dalam perundingan dengan pemerintah provinsi, federal, maupun pihak swasta.
Tugas ini mencakup banyak aspek, mulai dari:
- Pemetaan wilayah adat secara partisipatif, dengan melibatkan warga dalam mendokumentasikan situs-situs penting budaya;
- Pengajuan klaim tanah melalui jalur hukum atau negosiasi politik;
- Pendidikan masyarakat tentang hak adat, sejarah wilayah, dan instrumen hukum yang relevan;
- Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya tanah leluhur bagi identitas komunitas.
Tantangan Hukum dan Politik
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi organisasi adat adalah berhadapan dengan sistem hukum yang tidak selalu mengakui hukum adat sebagai landasan sah. Banyak kasus di mana keputusan pengadilan masih memprioritaskan sertifikat kepemilikan tanah formal dibandingkan bukti sejarah lisan atau penggunaan tradisional yang telah berlangsung selama generasi.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah kemenangan penting berhasil diraih. Salah satunya adalah keputusan Mahkamah Agung Kanada dalam kasus Tsilhqot’in Nation v. British Columbia (2014), yang mengakui hak eksklusif komunitas adat atas tanah yang mereka tempati secara tradisional. Meskipun bukan komunitas Secwepemc secara langsung, preseden hukum ini memberi harapan baru dalam perjuangan serupa.
Pendekatan Kolaboratif dan Inklusif
Organisasi adat Secwepemc juga mulai membangun pendekatan yang lebih kolaboratif dalam menjaga tanah adat. Mereka menggandeng akademisi, organisasi lingkungan, dan media independen untuk mengembangkan strategi berbasis bukti dan narasi komunitas. Tujuannya adalah memperkuat legitimasi klaim mereka dengan menggabungkan ilmu pengetahuan modern dan pengetahuan lokal.
Salah satu program inovatif yang dikembangkan adalah dokumentasi video dan peta digital interaktif yang menunjukkan sejarah migrasi, situs upacara, serta jalur berburu. Inisiatif semacam ini membantu memperluas pemahaman publik, terutama generasi muda, tentang pentingnya menjaga warisan tanah adat.
Menuju Kedaulatan yang Bermartabat
Perjuangan mempertahankan tanah leluhur bukan hanya soal wilayah, tetapi juga tentang kedaulatan budaya dan martabat komunitas. Organisasi adat memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa setiap jengkal tanah tidak hanya dijaga secara fisik, tetapi juga dipulihkan secara spiritual dan sosial.
Dengan pendekatan yang penuh integritas, terbuka terhadap inovasi, dan berakar kuat pada nilai-nilai budaya, komunitas Secwepemc menunjukkan kepada dunia bahwa hak atas tanah adat bukanlah hambatan pembangunan—melainkan fondasi dari pembangunan yang adil dan berkelanjutan.